Select Menu
Select Menu

Favourite

Jawa Timur

Wisata

Culture

Transportasi Tradisional

Rumah Adat

Bali

Pantai

Seni Budaya

Kuliner

» » Cinta Di Rumah Merah


Rumah Hijau 04.35 0



Gang Kenari, suatu petang yang muram. Seorang lelaki berjalan menyusuri lorong kecil sambil sesekali melompat kecil menghindari beberapa lubang yang dipenuhi air kotor. Matanya menerawang sesaat sambil tersenyum kecil ketika tiba di sebuah rumah yang lumayan besar itu. Ada beberapa wanita sedang bersolek, beberapa yang lainnya menyisir rambut. 

“Kamu tidak perlu lagi bersolek Lin. Kamu sudah cantik” gurau lelaki tadi sembari menghampiri Lin yang sedang menyisir rambutnya. Lina tersenyum manja. Lelaki itu kemudia pergi membawa Lina, masuk ke dalam rumah bercat putih kusam itu. 

Mirna yang duduk di dekat pot-pot yang tak lagi terurus memandang sinis ke arah Lina. “Dia pasti pakai pelet. Saya heran dia bisa laku keras dibanding saya yang lebih cantik ini” gerutunya. Yang lain terdiam. “Ya, anggap saja keberuntungannya Mir. Itu rezekinya.” timpal Lisa yang masih asyik menyisir rambut. 

“Lihat siapa yang datang” seru Mirna sambil menunjuk ke arah gang kecil di depannya. Tampak seorang lelaki berjalan santai menyusuri gang kecil yang sedikit pekat itu. Semua mata tertuju padanya.

Lelaki itu memasuki pelataran rumah sembari membuang pandangannya sekeliling. Dari perawakannya, dia mungkin masih duduk di bangku kuliah, kira-kira 22 tahun umurnya. Seorang wanita setengah baya mendekatinya. Mereka tampak berbincang. Sesekali pemuda tersebut menggeleng-geleng kecil. Sesaat kemudian dia menunjuk seorang wanita yang duduk persis dekat pintu masuk. 

“Rina, kamu sama dia” ujar wanita setengah baya tadi. pemuda tersebut mendekati Rina yang buru-buru merapikan make up di wajahnya yang belum selesai. 

“Lewat sini mas” Rina membawa pemuda tersebut berjalan memasuki rumah yang temaram itu. “Saya Rina” tambah Rina lagi sembari mengulurkan tangannya ketika mereka telah berada di dalam kamar nomor 4.
“Ya saya sudah tahu itu. Ibu tadi juga telah menyebut namamu bukan?”.
Rina tersenyum. Lelaki di depannya kali ini tampak begitu berbeda. Tidak seperti lelaki kebanyakan yang pasti tidak akan membuang banyak waktu lagi ketika mereka telah berada di dalam kamar. Atau karena dia masih begitu muda, tak begitu banyak berpengalaman. Mungkin ini kali pertama baginya. Tidak biasa Rina berhadapan dengan tamu-tamunya yang bersikap dingin seperti pemuda yang satu ini.

“Boleh saya matikan lampu? Atau kamu lebih suka seperti ini” tanya Rina mencoba memecah keheningan.
“Biarkan terus terang. Bukankah ini lebih indah?”
Rina terdiam. Sedikit kikuk. Keheningan memenuhi keduanya. Suasana tampak kaku.
“Boleh saya bertanya?” tanya sang pemuda.
“Ya…boleh”
“Apa alasanmu memilih pekerjaan ini?”
Rina terdiam, memandang ke arah sang pemuda dengan pandangan hampa. Tidak pernah ada seorang lelaki pun yang berani menanyakan hal seperti ini pada dia. Apalagi harus mengorek masa lalunya. Masa-masa hitam yang telah menjadi bagian dari jalannya.
“Maksudku apa yang membuatmu sampai di sini”
“Ada banyak hal. Dan saya pikir bukan hak Anda untuk mengetahuinya”
“Maaf. Saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya ingin tahu saja. Anggap saja ini bayaran sepadan pengganti apa yang seharusnya kita lakukan.”
Rina tertegun. “Keadaan ekonomilah yang terpaksa membuat saya demikian. Saya harus menyekolahkan adik-adik saya di kampung.”
“Kamu pergi meninggalkan kampung halaman?”
“Ya. Dan saya tidak akan pernah kembali lagi. Semua orang di kampung memandang rendah saya, sebagai binatang buangan. Hidup kian pelik. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Sampai saya tua pun, tidak akan pernah lagi seorang lelaki yang akan mencintai saya dengan keadaan begini” timpal Rina. Matanya berkaca-kaca, menyembunyikan kepedihan yang begitu mendalam.
“Kamu pernah punya kekasih?”
“Itu sudah lama. Bagian dari masa lalu yang sia-sia. Dia tidak pernah ada lagi ketika kami tamat SMP. Dia sudah menghilang. Benar-benar menghilang dari hidup saya.”
Sang pemuda tertegun.
“Dan kamu. Apa alasanmu datang kemari?” tanya Rina.
“Saya harus pergi.” Balas sang pemuda singkat sembari berjalan keluar kamar.
Rina memandangi kepergian pemuda misterius itu penuh heran. Ia baru kaget ketika melihat di atas ranjang tertinggal sebuah dompet berwarna hitam.
“Hey tunggu…!!!” teriak Rina. Sang pemuda tersebut telah menghilang. Rina memandang dompet tersebut. Sebuah kartu tanda pengenal dengan foto seorang lelaki muda ada di dalam dompet itu.
“Andy Buqsa” Rina tertegun sedikit kikuk.
“Kemala, 12 Maret 1987.”
“Tidak mungkin. Dia tidak mungkin Andy, lelaki yang pernah aku cintai itu. Lelaki dari kampung halamanku di Kemala. Tidak mungkin itu” batin Rina seolah melawan. Ada selembar kertas kecil di belakang kartu tanda pengenal itu. Sebuah tulisan tangan. Tunggu aku Rina. aku akan pulang untukmu, membawamu keluar dari rumah merah ini….


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply

Silahkan berikan komentar Anda terkait artikel di atas.

Komentar yang bernuansa SARA atau SPAM akan kami remove.

Terima Kasih atas kunjungan Anda. Semoga bermanfaat !!!

Selalu pastikan Anda meng-update berbagai informasi terbaru blog ini.